Sunan Gresik/Maulana Malik Ibrahim
Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa Tanggulangin.
Dari ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata
kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada di luar rumah, langsung berteriak
ketakutan dan masuk ke dalam rumah masing-masing ketika melihat gerombolan orang berkuda
itu memasuki jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua puluh orang, terus memacu kudanya hingga
ketengah-tengah perkampungan penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan mengangkat
tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang dibelakangnya berhenti.
Agaknya dua orang yang berada paling depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya
tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu
dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan aturan satuan pasukan. Yang seorang lagi
bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja
pakaian yang dikenakannya adalah pakaian biasa pakaian para petani perdesaan.
Delapan belas orang di belakang lebih parah lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit
kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah tidak keruan.
“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar dan berewokan dengan kerasnya.” Aku
Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran
rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis
rumah kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun
berani menampakkan diri.
Wajah si penunggang kuda berpakaian petani nampak murung mendengar ucapan orang yang
menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas panjang. “Sampai
kapan ini akan berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak
melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara apa ?”
“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan.
“Jangan macam-macam,” tukas Julung Pujud.” Kita harus melakukannya. Terus melakukannya
hingga harta kita terkumpul banyak dan nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang
hingga tujuh turunan .”
Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa Tanggulangin.
Dari ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata
kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada di luar rumah, langsung berteriak
ketakutan dan masuk ke dalam rumah masing-masing ketika melihat gerombolan orang berkuda
itu memasuki jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua puluh orang, terus memacu kudanya hingga
ketengah-tengah perkampungan penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan mengangkat
tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang dibelakangnya berhenti.
Agaknya dua orang yang berada paling depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya
tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu
dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan aturan satuan pasukan. Yang seorang lagi
bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja
pakaian yang dikenakannya adalah pakaian biasa pakaian para petani perdesaan.
Delapan belas orang di belakang lebih parah lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit
kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah tidak keruan.
“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar dan berewokan dengan kerasnya.” Aku
Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran
rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis
rumah kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun
berani menampakkan diri.
Wajah si penunggang kuda berpakaian petani nampak murung mendengar ucapan orang yang
menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas panjang. “Sampai
kapan ini akan berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak
melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara apa ?”
“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan.
“Jangan macam-macam,” tukas Julung Pujud.” Kita harus melakukannya. Terus melakukannya
hingga harta kita terkumpul banyak dan nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang
hingga tujuh turunan .”