Sunan Gresik/Maulana Malik Ibrahim
Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa Tanggulangin.
Dari ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata
kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada di luar rumah, langsung berteriak
ketakutan dan masuk ke dalam rumah masing-masing ketika melihat gerombolan orang berkuda
itu memasuki jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua puluh orang, terus memacu kudanya hingga
ketengah-tengah perkampungan penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan mengangkat
tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang dibelakangnya berhenti.
Agaknya dua orang yang berada paling depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya
tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu
dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan aturan satuan pasukan. Yang seorang lagi
bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja
pakaian yang dikenakannya adalah pakaian biasa pakaian para petani perdesaan.
Delapan belas orang di belakang lebih parah lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit
kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah tidak keruan.
“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar dan berewokan dengan kerasnya.” Aku
Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran
rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis
rumah kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun
berani menampakkan diri.
Wajah si penunggang kuda berpakaian petani nampak murung mendengar ucapan orang yang
menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas panjang. “Sampai
kapan ini akan berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak
melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara apa ?”
“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan.
“Jangan macam-macam,” tukas Julung Pujud.” Kita harus melakukannya. Terus melakukannya
hingga harta kita terkumpul banyak dan nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang
hingga tujuh turunan .”
Orang yang disebut Tekuk Panjalin hanya berdiam diri. Beberapa saat kemudian, karena tak
ada jawaban dari penduduk setempat. Wajah Julung Pujud nampak merah padam.
“Kurang ajar !” Bentaknya marah.” Di desa manapun orang akan membungkuk-bungkuk dan
menyembah kakiku jika mendengar namaku disebut. Tapi kalian penduduk Tanggulangin tidak
memandangku sebelah mata. Baik ! Kalian memang perlu diberi pelajaran!”
Ia menoleh kepada anak buah yang berada di belakangnya.
“Nyalakan obor !” Perintahnya. “Bakar semua rumah desa ini !”
Beberapa orang segera turun dari kuda untuk menyalakan obor yang sudah mereka siapkan.
Lalu naik lagi ke atas kuda beberapa rekannya yang lain tinggal menyahutkan api pada obor itu.
Dalam tempo singkat tiga belas orang itu sudah memegang obor menyala di tangan kanan.
Sementara tangan kirinya tetap memegang kendali kuda.
Kini mereka mulai mendekati rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding
rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang.
Sepasang mata Julung Pujud tiba-tiba menatap lurus ke arah sebuah bangunan aneh. Sebuah
rumah terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng. Nampaknya baru saja didirikan di sebelah
barat pusat perkampungan. Sepasang matanya yang tajam dapat melihat sekelompok orang
sedang duduk bersila dengan mulut komat kamit.
Julung Pujud segera mendekati bangunan baru itu. Sepertinya Sanggar Pemujaan. Tapi makin
dekat hatinya makin yakin jika bangunan itu bukan tempat beribadahnya orang-orang beragama
Hindu maupun Budha.
Tepat pada saat itu orang yang duduk di bagian paling depan mengorak sila, berdiri dan
mengajak orang-orang yang berada di belakangnya untuk keluar menemui Julung Pujud.
“Hoooo ! Jadi kalian berkumpul dan bersembunyi di tempat ini. Apa yang kalian rundingkan.
Mau melawanku ?” tanya Julung Pujud dengan suara mengejek.
Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun maju menghampiri Julung Pujud yang masih
duduk di atas kudanya. Wajahnya bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih
hingga sebagian rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat pelipis dan telinga.
“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan suara mantap.” Sudah lama kudengar nama dan
sepak terjangmu ! Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat bertemu denganmu. Mana
anak buahmu ?”
Julung Pujud mendelik. Hampir saja sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru
kali ini ada seorang penduduk berani berkata seperti kepada dirinya.
Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.
“Edan ! Gila !” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup
rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini
?”
Pemuda itu malah menatap lekat kearah Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya
yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan nampaknya lebih tenang.
Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa dilecehkan.
Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan
anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang
mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda tampan itu.
Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang tetap berdiam diri namun sepasang matanya
menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya, “Guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan ?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau
sekedar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya Cuma mengonggong !”
“Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi.
“Baik, panggil anak buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk
anjing muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing !” kata Julung Pujud sembari melompat dari
atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera memacu ke arah anak buahnya yang sudah
bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah penduduk.
Cepat berkumpul. Buang obor kalian ! Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak
Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk
menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.
“Anak muda !” hardik Julung Pujud.” Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan siapa
namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang anak muda berani cobacoba
melawanku,
dan akhirnya
bernasib sial !”
“Namaku Ghafur ! Tetapi lidah orang-orang jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan
kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat !”
“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung Pujud” Pantas wajah dan kulitmu putih seperti
mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat !”
Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya.
“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing, Pujud ? Apakah kaupun
hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling mengonggong ?”
Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol.
“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu !” ujarnya pedas.
“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak muda itu ?” tukas Tekuk
Penjalin.
Sementara itu pemuda bernama Gafur segera melipat lengan bajunya yang panjang.
Agaknya pertarungan antaranya dengan Julung Pujud tak bias dihindarkan lagi.
‘sebenarnya aku paling benci menggunakan kekerasan. Tapi kepala kalian memang kepala batu
yang patut dipukul dengan tangan besi !” ujar Gafur.
“Hiaaaaat !” Tanpa basa basi lagi karena malu terus diejek Tekuk Penjalin, lelaki berewokan
itu menerjang maju ke arah Gafur. Sepasang tangannya membentuk cakar rajawali di arahkan
ke wajah Gafur yang putih bersih.
Semua orang, terutama para pendududk desa yang berdiri di belakang Gafur berteriak kaget.
Sebab Gafur sepertinya tak bereaksi, hanya diam saja, Seolah membiarkan Julung Pujud
menampar dan mencakar wajahnya begitu saja.
“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu jarak serangan tinggal sekilan (kurang lebih 10 cm) Gafur
menangkis tangan yang hendak mencengkeram wajahnya bahkan langsung balik mengirim
serangan dengan menendang dada Julung Pujud.
Julung Pujud mengaduh kesakitan dengan tubuh terdorong ke belakang beberapa langkah.
Dadanya terasa bagai di hantam palu godam puluhan kilo. Benar-benar kecele.
Sudah diperhitungkan, melihat keberanian si pemuda tentulah Gafur itu mempunyai sedikit
kepandaian. Tapi sungguh tak disangkanya jika kepandaian ilmu silat si pemuda demikian
tingginya sehingga sekali gebrak dia dibikin mundur sempoyongan dengan dada ampek.
Tadinya ia berharap akan meringkus pemuda itu dengan sekali serangan saja. Itu sebabnya dia
langsung mengerahkan jurus Rajawali Sakti tingkat ke delapan belas. Dia ingin mencengkeram
dan langsung memutar leher Gafur, sekali pelintir putuslah nyawa pemuda itu.
Tapi siapa sangka keadaan jadi terbalik. Justru dia yang terkena tendangan telak. Kini dengan
wajah merah padam Julung Pujud langsung mencabut golok di pinggangnya. Dan dengan
teriakan mengguntur dia merangsak lagi ke depan. Menebaskan goloknya ke arah perut Gafur.
Namun dengan mudahnya pemuda itu berkelit ke sana kemari.
Semua serangan Julung Pujud hanya mengenai tempat kosong. Keringat dingin segera
membasahi wajahnya. Ia merasa malu dan penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa terkejut.
Dia adalah seorang pendekar kawakan. Belum pernah dia melihat kecepatan gerak seorang
pesilat seperti Gafur. Ia terus memperhatikan cara-cara Gafur mengelak dan balas menyerang.
Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri khas dari ilmu silat yang dimiliki pemuda itu.
“Lembu Sekilan ………. ?” teriaknya agak ragu.
Julung Pujud yang mendengar teriakan Tekuk Penjalin terkejut sekali. Lembu Sekilan adalah
ilmu tingkat tinggi. Tak sembarang orang mampu mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang berusia
semuda itu sudah menguasainya dengan baik. Sehingga setiap serangan yang dilancarkan tidak
akan pernah menyentuhnya. Selalu berjarak kurang dari sekilan dari sasaran. Tiga puluh jurus
telah berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak mengalah. Ia lebih sering mengelak atau
menangkis, hanya sesekali balas menyerang dengan tenaga biasa.
Sementara Julung Pujud sangat bernafsu merobohkan atau membunuh pemuda itu dengan
seluruh kemampuan yang ada. Ia telah mengerahkan semua ilmunya. Baik ilmu yang
dipelajarinya dari satuan pasukan elite Majapahit maupun ilmu kotor dengan jurus-jurus keji
yang penuh gerak tipuan. Semua itu ternyata tak mampu dipergunakan untuk menyentuh tubuh
Gafur.
“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk Penjalin angkat bicara. “Kalau mau sebenarnya sudah
mampu mencabut nyawamu sejak tadi !”
Julung Pujud makin panas mendengar ejekan rekannya itu. Tekuk Penjalin memang selalu jadi
saingannya dalam segala hal. Ilmu mereka berimbang tapi Tekuk Penjalin nampak lebih tenang
dan penuh perhitungan. Tak gampang terbawa arus nafsu amarah yang merusak segala
pertimbangan akal sehat. Kini Julung Pujud menyerang Gafur dengan membabi buta. Hingga
suatu ketika Gafur merasa sudah saatnya memberikan pelajaran kepada pemimpin gerombolan
perampok itu.
“Trang ! Desss ! Desss !”
Saat itu Julung Pujud membacokan goloknya ke arah kepala Gafur. Gafur menangkis dengan
tangan kirinya. Semua orang terkejut. Mengira tangan Gafur yang bakal putus dibabat golok itu.
Ternyata justru golok itulah yang patah menjadi dua. Dan sebelum hilang rasa terkejutnya,
Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya kena tendangan teramat keras dari sepasang kaki
Gafur yang dilancarkan secara beruntun. Tubuh Julung Pujud terjungkal ke belakang dengan
terjembab ke tanah dengan keras sekali. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya
terengah-engah. Tiga belas anak buahnya hanya memandanginya dengan bengong, tak tahu apa
yang harus dilakukannya.
Goblok !” umpatnya dengan nafas tersenggal. “Mengapa kalian diam saja. Cepat serbu bangsat
itu ! Bunuh dia !”
Delapan belas prajurit itu langsung turun dari kudanya masing-masing. Dengan menghunus
golok di tangan mereka menyerbu ke arah Gafur.
Namun puluhan penduduk yang tadinya hanya berdiri di belakang Gafur segera mengambil
senjata seadanya. Dan mereka segera menyerbu ke arah kawanan perampok yang hendak
mengeroyok Gafur.
Ternyata ada beberapa pemuda desa yang telah mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup
membuat kawanan rampok itu repot meladeni serangannya. Belum lagi puluhan penduduk yang
menyerang dengan nekad dengan senjata parang, golok, tombak, cangkul, tongkat penumbuk
padi, lemparan batu dan sebagainya.
Selama menjarah desa puluhan kali belum pernah kawanan rampok itu mendapat perlawanan
sesengit ini. Biasanya para penduduk desa sudah mengkeret begitu mendengar gertakan
mereka. Tak ada yang berani melawan.
Apa yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa mereka sedang bertemu dengan macan rupanya
benar-benar menjadi kenyataan. Seluruh penduduk desa Tanggulangin agaknya telah berubah
menjadi sekawanan harimau terluka. Siap menerkam siapa saja yang coba-coba mengusik
ketenangannya. Julung Pujud melangkah tertatih-tatih ketepian. Menjauhi pertempuran.
Mendekati kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon sawo. Sementara delapan belas
anak buahnya bertarung sengit dengan puluhan penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung
meloncat ke depan Gafur.
“Senang sekali bertemu denganmu anak muda.” Katanya dengan wajah berseri-seri.
“Sudah lama sekali aku tak bertemu lawan tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.”
11
Habis berkata demikian dia langsung melancarkan serangan dari jarak jauh.
Serangkum hawa panas meluncur ke dada Gafur. Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran angin
sebelum tenaga dalam yang dilancarkan Tekuk Penjalin mengenai tubuhnya. Cepat ia membaca
beberapa ayat Al-Qurán. Kedua telapak tangannya dibentangkan lebar-lebar untuk menangkis.
“Wesssss .......... ! Hiaaaaat ! Tap !”
Cerdik sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah menduga serangannya bakal membalik. Maka dia
meloncat tinggi-tinggi ke arah pohon mangga. Dan hinggap disalah satu dahannya. Gafur
memandangnya sejenak. Kemudian menoleh ke arah penduduk desa yang sedang bertempur
melawan kawanan perampok. Ia mengerutkan dahi. Buas dan brutal sangat cara para perampok
itu bertempur. Beberapa penduduk berhasil dilukainya, bahkan ada lima orang penduduk yang
sudah roboh di atas tanah dengan luka parah terbabat golok.
“Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.” Gumannya lirih. Lalu meloncat ke arah Tekuk Penjalin
yang masih tertengger diatas dahan pohon mangga.
Tampa diduga tiba-tiba Tekuk Penjalin menyambitkan sebuah daun ke arahnya. Gafur
berjumpalitan di udara beberapa kali untuk menghindari daun mangga yang meluncur bagai
sebatang anak panah.
“Tasss ! Jreppp !”
Gafur berhasil menghindari sembitan daun mangga yang telah diisi dengan tenaga sakti. Daun
itu mengenai batang pohon pisang di sebelahnya, tembus dan meluncur lagi ke arah batang
pohon kelapa. Amblas dan menancap do batang pohon kelapa itu.
Gafur bergidik ngeri. Bagaimanakah jika daun itu mengenai tubuhnya ?
Nalurinya berkata lawannya kali ini bukan sembarang orang. Melainkan lawan tangguh yang
mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia sudah berhasil hinggap di salah satu dahan pohon mangga,
tepat diseberang Tekuk penjalin.
“Ki Tekuk Penjalin, andika seorang pendekar perkasa, “Tegur Gafur dengan sopan sekali.
“Mengapa harus berloncatan ke dahan pohon seperti tupai ? Mari kita tuntaskan pertarungan ini
di atas tanah.”
“Kau takut bertempur di atas pohon ? Ejek Tekuk Penjalin.
“Andika salah sangka. Saya hanya tidak mau merusak pohon ini tanpa suatu alasan yang benar.
Kasihan penduduk desa yang telah menanamnya dengan susah payah selama puluhan tahun”
ujar Gafur dengan suara datar.
Tekuk Penjalin melangak. Hanya sebatang pohon mangga. Pemuda itu demikian
menghargainya. Ia merasa malu karena selama bertahun - tahun membunuh dan
memperlakukan manusia bagaikan barang yang tidak berharga.
“Baiklah, kuturuti apa maumu !” kata Tekuk Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan
tubuhnya hinggap di atas tanah.
Gafur melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya membuat Tekuk Penjalin tercekat.
Cepat bagai kilat namun indah bagaikan sehelai daun kuning jatuh ke tanah.
“Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk Penjalin.
Gafur memang bermaksud segera menyudahi pertempuran itu. Ia merasa kasihan pada para
penduduk desa yang terus menerus berjatuhan karena kalah pengalaman dibanding kawanan
perampok yang asalnya memang dari pasukan tempur kerajaan Majapahit.
Tampa basa basi lagi Gafur mengerahkan ilmunya. Ilmu silat yang berasal dari Perguruan AlKaromah.
Tekuk Penjalin langsung roboh terjungkal
ke tanah. Nafasnya
terengah-engah.
Mulutnya
mengeluarkan darah segar. Beberapa
bagian tubuhnya nampak matang
biru.
Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang sudah naik ke atas punggung kuda menjadi kecut
hatinya. Ia menggiring kudanya secara diam-diam untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya
Julung Pujud bersiap-siap hendak melarikan diri jika ternyata pihaknya menderita kekalahan.
“Ilmu setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin dengan pandang mata penasaran.
“Andika keliru !” sahut Gafur sembari melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang terkapar
tanpa dapat bangun lagi.” Kami bahkan sangat membenci ilmu setan. Ilmu yang barusan
kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat Karomah.”
“Kau berasal dari perguruan mana ?”
Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah penduduk yang masih terus bertempur dengan
kawanan perampok.
Kemudian berpaling dan mendekati ke arah Tekuk Penjalin.
“Cepat perintahkan anak buahmu untuk menyerah !” Bentak Gafur dengan pandang mata
mencorong.
Tekuk Penjalin hanya diam saja. Gafur jadi gelisah. Ia melangkah makin dekat. Sepasang
kakinya berdiri di sisi tubuh Tekuk Penjalin yang terkapar. “Jika kau tak mau perintahkan anak
buahmu menyerah, maka sekali kuinjakkan kakiku ke dadamu, pasti kau akan mati !” ancamnya
tanpa main-main.
Tekuk Penjalin masih tak mau buka suara. Sepasang matanya memandang Gafur dengan penuh
penasaran. Rasanya dia masih belum percaya jika telah dirobohkan pemuda itu hanya dalam
tiga kali gebrakan. Benar-benar mustahil. Tapi kenyataan telah membuka pandangan hidup
bahwa seolah-olah di dunia ini tidak ada orang sakti selain dirinya.
“Cepat ! perintahkan anak buahmu untuk menyerah ! “ Ancam Gafur dengan hati galau. Kini ia
mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Siap dihantamkan ke dada Tekuk Penjalin.
Tekuk Penjalin sendiri masih bungkam. Hatinya bergolak, “Bertahun-tahun aku mengembara.
Ingin bertemu dengan tokoh silat tingkat tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak
muda. Aku kecewa, daripada hidup menanggung malu, lebih baik aku mati ditangannya.”
Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk Penjalin menggerakkan mulutnya. Bukan untuk
memberi perintah agar anak buahnya menyerah. Melainkan justru meludahi wajah Gafur yang
hendak menginjak dadanya.
“Juhhhhh .......... !”
Gafur tak sempat mengelak. Ludah itu menempel di wajahnya. Seketika wajahnya yang putih
bersih berubah jadi merah padam pertanda marah.
Sepasang tangannya terkepal erat. Kaki kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak
tentu ambrol dada Tekuk Penjalin. Melihat wajah Gafur yang merah membara itu tergetarlah
hati Tekuk Penjalin, bagaimanapun sebenarnya dia tidak rela mati begitu saja. Kini lenyaplah
kepongahan hatinya. Berubah jadi kecut dan ciut. Wajahnya seketika berubah jadi pucat pasi.
“Kali ini tamatlah riwayatku .......” Desis Tekuk Penjalin melihat kaki kanan Gafur diangkat
tinggi-tinggi. Siap menggempur dadanya.
Tiba-tiba terjadilah keanehan. Gafur mengrungkan niatnya menghantam dada Tekuk Penjalin
dengan kakinya. Dia menarik kaki kanannya dan berdiri dengan sikap biasa. Terdengar ia
menyebut , “Astaghfirullah ..”
Wajahnya yang tadi merah pedam karena dialiri darah amarah yang menggelegak mendadak
berubah lagi jadi putih bersih. Perlahan dia membersihkan ludah Tekuk Penjalin yang
menempel di wajahnya.
“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau bunuh ?” tanya Tekuk Penjalin keheranan.
“Karena tadi kau telah membuatku marah !” jawab Gafur datar.
“Aku tidak boleh menghukum orang dalam keadaan marah. Itu termasuk dosa !”
“Kenapa berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih penasaran.” Bukankah aku ini perampok jahat
yang pantas di bunuh ?”
“tadi .......... “kata Gafur.” Sebelum kau meludahiku dan sebelum aku marah. Aku boleh
membunuhmu karena niatku membunuhmu adalah untuk jihad fi sabilillah, memerangi
kejahatan. Tetapi setelah kau meludahi, maka hatiku jadi marah. Yang marah adalah aku
pribadi. Karena diri pribadiku tersinggung. Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan
antara kepentingan pribadi dengan niat berjuang di jalan Allah. Saat aku marah hatiku sudah
menyeleweng dari jalan Allah, jadi aku akan menanggung dosa besar jika membunuhmu atas
dasar kebencian pribadi. Bukan atas dasar perang di jalan Allah, yang sesuai dengan ajaran
agamaku !”
Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya bergolak.
“Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk
Penjalin.
“Islam !” jawab Gafur. “Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat
hidupnya di dunia dan akhirat.”
“Aku ………. adalah bekas perwira Majapahit yang membelot dan menjadi pemimpin rampok.
Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah Tuhanmu masih mau mengampuniku ?” tanya Tekuk
Penjalin.
“Kenapa tidak ?” Sahut Gafur. “Misalkan dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi.
Namun kalau kau masuk agama Islam, dan bertobat secara sungguh-sungguh. Artinya kita tidak
akan mengulangi perbuatanmu yang jahat, menggantinya dengan perbuatan baik, maka Tuhan
akan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu akan dihapus semua.”
“Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin ragu.
“Aku bicara apa adanya. Dusta adalah suatu dosa !” sahut Gafur.
Tiba-tiba Tekuk Penjalin berusaha bangkit untuk berdiri. Karena tubuhnya masih lemah maka ia
segera roboh lagi. Gafur cepat menyambarnya. Sementara itu, pertempuran antara penduduk
desa dengan kawanan perampok masih berlangsung seru. Tiba-tiba terdengar bentakan yang
membahana.
“Berhenti ! Hentikan pertempuran !”
Semua orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran. Ternyata bentak itu berasal dari
Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping Gafur. Gafur telah menolong Tekuk Penjalin
sehingga tubuhnya kembali segar bugar seperti semula.
“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku tak mau lagi hidup bergemilang
dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dam menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega
Pethak !”
Semua orang terkejut mendengar perkataan itu. Baik dari kalangan penduduk desa maupun
para perampok itu sendiri. Sementara bagi Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan
petir menyambar di telinganya. Jika Tekuk Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah
menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh
anak buahnya.
“Kalian boleh pilih, tetap menjadi gerombolan perampok dengan risiko diburu petugas
pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau hidup baik-baik, bertobat dan
membaur dengan masyarakat !”
Delapan belas perampok itu sekarang tinggal lima belas. Tiga rekannya telah mati di tangan
penduduk desa. Delapan orang langsung membuang senjatanya ditanah begitu mendengar
seruan Tekuk Penjalin.
Tujuh lainnya berlari ke arah kudanya masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud. “Ki
Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami
sendiri !”
“Terserah kalian !” sahut Tekuk Penjalin. “Tapi jangan coba-coba mengganggu desa ini lagi.
Bila itu kalian lakukan maka aku sendiri yang bakal membasmi kalian !”
“Ha ha ha ha .......... !” Julung Pujud tertawa keras. “Mari anak buahku yang jantan !” kita
tinggalkan Tekuk Penjalin yang telah menjadi banci !”
Julung Pujud mendahului memacu kudanya keluar desa. Diikuti tujuh orang anak buahnya yang
tidak mau menerima fitrah kebenaran abadi. Beberapa penduduk desa yang masih merasa
geram dan dendam segera menendang dan memukuli delapan perampok yang telah menyerah,
duduk bersimpuh di atas tanah tanpa mengadakan perlawanan sama sekali.
Gafur segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak pantas menyerang orang
yang sudah menyerahkan diri !”
“Mereka sudah membujuk teman-teman kami !” protes penduduk.
“Serahkan mereka padaku. Aku akan mengurusnya !” jawab Gafur dengan suara berwibawa.
Kemudian ia memberi isyarat kepada seluruh penduduk untuk berkumpul. Ki Tekuk Penjalin
dan anak buahnya duduk bersimpul di belakang Gafur, menghadap ke arah penduduk desa yang
segera berkumpul di hadapan Gafur.
“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur membuka suara.” Muslim yang kuat lebih disukai Allah.
Dengan adanya kekuatan kita dapat mempertahankan diri dari pemaksaan kehendak orang lain,
itulah sebabnya para pemuda di desa ini kuajari ilmu pencak silat di samping belajar ilmu
agama !”
Demikianlah, secara panjang lebar Gafur memberikan bimbingan kepada penduduk setempat
untuk mengenal dan memperdalam agama Islam. Bukan hanya sekedar ceramah saja. Melainkan
dibuktikan dengan perbuatan nyata. Gafur adalah murid si Kakek Bantal yang ditugaskan
membina desa-desa tertinggal, dan masyarakat yang belum mengenal Islam. Dia membantu
para penduduk untuk meningkatkan taraf kehidupannya dengan cara membimbing mereka
bertanam padi dengan cara yang lebih baik. Dengan ilmu pengobatan yang dipelajari dari
gurunya ia juga telah banyak menolong para penduduk yang menderita sakit.
Penduduk setempat akhirnya menaruh simpati. Di saat itulah Gafur baru menawarkan dan
mengenalkan keindahan dan keluhuran agama Islam kepada mereka. Tekuk Penjalin dan anak
buahnya dibina di desa itu. Akhirnya mereka menjadi orang baik-baik dan menjadi pelindung
desa dari rongrongan para perampok.
Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh Gafur yang oleh Tekuk Penjalin disebut sebagai Satria
Mega Pethak atau Satria Awan putih. Seputih hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh
perjalanan hidupnya.
Gafur sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap ajaran agama.
Teguh menjauhi kemungkaran dan tiada henti-hentinya menegakkan kebenaran yang dinodai
sekelompok orang tak bertanggung jawab. Gafur hanyalah salah satu di antara sekian banyak
murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi atau Gresik. Lalu siapakah si Kakek Bantal itu.
“Ya, siapakah sebenarnya Guru saudara Gafur yang disebut Kakek Bantal itu ?” tanya Tekuk
Penjalin pada suatu hari.
Gafur tersenyum lalu menjawab, “Kakek Bantal adalah seorang ulama besar dari Negeri
Seberang. Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut demikian
karena beliau mampu membaur dengan penduduk setempat sehingga boleh dikatakan sudah
membumi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ada pula yang mengatakan Bantal adalah
bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan
semua orang yang mendengarkannya sehingga hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat
mereka tidur nyenyak diatas bantal empuk.”
Menanti Tetes Air
Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit
mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan
Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan
sembunyisembunyi. Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau
Jawa. Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu
sudah sangat keropos. Perang saudara antara kerabat istana tiada henti-hentinya. Rakyat
menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Kesetiaan para
pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja.
Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian.
Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi
sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam
mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana.
Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin
menggenaskan.
Di saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan
langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat.
Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat
gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak
ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah
tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang
pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana,
tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masingmasing.
Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga
yang
sangat
kuat
sehingga punggung yang
terkena
menjadi
matang
biru bahkan ada beberapa
dari melintang
yang penuh darah.
Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan ditangannya. Hingga kedua
punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya
menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke
tanah dalam keadaan pingsan.
Irama gending segera berhenti.
Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi
perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke
arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar.
“Bawa kemari anak perawan itu !” Teriak sang pendeta.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di
tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
“Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak gadis itu ketakutan. Dia berusaha berontak, namun
tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya
dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki
memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan.
Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Kini
sang pendeta mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi sembari mendongkak ke atas langit.
“Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan kami ! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan
limpahan airmu ke bumi yang gersang ini !” Demikian teriaknya berkali-kali. Si pendeta tua
segera mendekati si gadis dengan senyum menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu
mencabut belati dari balik pinggangnya.
Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan rela kepada Dewa Hujan. Sederas darah yang keluar
dari jantungmu sederas itu pula hujan yang akan diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu
tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini !”
“Jaj ...... jangan ...... ! Aku tidak mau ...... !” rintih si gadis cantik dengan tubuh gemetar
ketakutan.
“Diam !” bentak lelaki berwajah seram yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis
langsung mengkeret, pucat pasi.
“Ayo kita mulai !” kata sang pendeta. Keempat lelaki yang memegangi sepasang tangan dan
kaki si gadis makin mempererat cekalannya. San pendeta mendekati altar persembahan.
Ia mengangkat belati itu di atas dada si gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak
menikam jantung si gadis cantik dengan belati itu.
“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan lembut namun jelas terdengar oleh semua orang.
Kakek Bantal dan kelima orang muridnya menerobos kerumunan orang. Langsung menghampiri
si pendeta yang memegang belati, siap dihujamkan ke jantung si gadis. “Untuk apa gadis ini
dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal.
Kami mengharap turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak
suka atas kedatangan Kakek Bantal itu.
“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis
cantik ?”
“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat
air.” Sahut sang pendeta.
“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi. Sang pendeta tidak
segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi
isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Kakek Bantal.
Dua orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Kakek
Bantal. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala
Kakek Bantal.
Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka
berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak
menyaksikan hal itu.
Namun ia tak mau rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke
jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk
meluncurkan belati itu ke dada si gadis.
“Kau ...... ? Kau ...... ?” teriak sang pendeta sembari menuding ke arah Kakek Bantal.” Mau
apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?”
Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.
“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?”
tanya Kakek Bantal.
“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.
“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”
“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua.
“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek
Bantal.
Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi
menjawab dengan serentak, “Belum …… “.
Wajah sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan
lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukandua kali. Dewa
Hujan akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan
akan diturunkan !”
Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya
Kakek Bantal.
Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar dibelakangnya
untuk meringkus Kakek Bantal yang dianggapnya sebagai pengacau. Dua lelaki itu, yang
agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud
menghajar Kakek Bantal hingga babak belur. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tibatiba
terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi pahanya.
“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja
mengganggu upacara kami !”
“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan kelima muridku bermaksud
menolong orang-orang desa ini.”
“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada
warga desa ini ?”
“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya.
“Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak.
“Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.
Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu !
Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami tak segansegan
akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”
“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata Kakek Bantal dengan tenang.
“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala kepadanya ?”
“Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang
menciptakan kita semua,” Ujar Kakek Bantal.
“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak
pendeta tua.
“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras ijin Allah, maka kalian
harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.
“Untuk apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak
kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan !”
Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami
dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?”
“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.
“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal
mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan,
melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa
Hujan !”
Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara Kakek
Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya)
segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang
berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua
orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat
lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya.
“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata,
hanya khayalan saja !”
Kakek Bantal segera menghampiri pendeta tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang
bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah
nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi !”
Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada
keempat anak buahnya yang memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera
mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.
Ketika hujan sudah reda, orang-orang yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri
berlutut di hadapan Kakek Bantal dan kelima muridnya. Termasuk si gadis cantik yang hampir
saja dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.
“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek Bantal. “kalian tidak boleh bersujud kepada sesama
manusia. Hanya Tuhan Allah yang pantas kalian sembah dalam sujud.”
Setelah mendengar ucapan Kakek Bantal, semua orang segera bangkit untuk bersila, salah
seorang dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat berterima kasih
kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan hujan yang telah lama kami
tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata cara meminta hujan seperti tadi ?”
Ya !” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa
mengorbankan manusia !”
Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa
simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.
“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata Kakek Bantal. “Maka kalian
harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian ?” “Mauuuuuu ...... ! jawab
para penduduk dengan serentak.
Demikianlah, selama beberapa hari Kakek Bantal tinggal di desa itu. Membimbing para
penduduk desa untuk mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka
selaku orang awam.
Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan perjalanan pulang ke Gresik. Ia telah menugaskan dua
orang muridnya yang ahli dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing
penduduk desa itu. Sehingga terbinalah imam dan taraf hidup penduduk desa itu.
Pada setiap desa yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu
untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk
membimbing penduduk desa yang dilaluinya.
Siapa Kakek Bantal?
Jauh sebelum Kakek Bantal datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di
daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya
makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475
Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.
Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serindrawarman dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra telah
masuk Islam. Kemudian pada abad pertama Hijriyyah, menurut K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau
Jawa sudah ada seorang raja yang masuk agama Islam yaitu Ratu Sima. Menurut dokumen
disebut Ratu Simon. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Rati Sima adalah penguasa kerajaan
Kalingga di Jepara Jawa Timur (mungkin dahulu wilayah Jawa Timur, tetapi sekarang kota
Jepara adalah daerah Jawa Tengah).
Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik, yaitu Khalifah
Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari tahun 99 – 101 H, pernah berkorespondensi dengan
Maharaja Jambi (Sriwijaya) dan Ratu Sima tersebut. Kumpulan dari surat-surat itu masih
tersimpan baik di Musium Granada Spanyol sampai sekarang.
Jadi, sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran.
Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara besar-besaran. Kakek Bantal diperkirakan
datang ke Gresik tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada
tahun 1419.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya
kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagaian rakyat Gresik sudah ada yang
beragama Islam tetapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama
sekali.
Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat
berdasarkan ajaran Al-Qurán yaitu :
“Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan
petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka berdialoq (bertukar pikiran) dengan cara
yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).
Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki. Dan pernah mengembara di Gujarat
sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa.
Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Di Jawa,
Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus
bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran
sesat, juga meluruskan imam dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik.
Caranya : Beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan
mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak
Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana
Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan
para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau
terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat
bawah yaitu kaum fakir miskin.
Ayat-ayat Al-Qurán yang tertulis di batu nisannya terdiri dari :
Surat Al-Baqarah ayat 255, terjemahannya :
“Allah, tidak ada Tuhan malainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di
bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa
yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa
dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi
langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Mahatinggi dan
Mahabesar.”
Surat Ali Imran ayat 185, terjemahannya :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga
maka sesungguhnya ia beruntung. Kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”
Surat Ar-Rahman ayat 25, 27, terjemahannya :
“Semua yang di bumi akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan.”
Surat At-Taubah ayat 21, 22, terjemahannya :
“Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan
dan surga. Mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”
Selanjutnya tertulis data siapa yang dimakamkan di kuburan itu. “Inilah makam Almarhum
Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran, sendiri Sultan dan para
Menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol
negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan
Rahmat-Nya dan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari senin
12 Rabiul Awwal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau
berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak
yang di sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim
atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan
dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau
yang setia.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali,
beliau tidak menerangkan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa
mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu
mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah SWT.
Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan
kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta;
kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah
yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika
Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seorang di dalam Islam, orang-orang
Sudra dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam
agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan
yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang
paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling taqwa kepadaNya.
Taqwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk
berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak, orang
yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada mereka yang
berkasta Ksatria dan Brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega,
mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita. Setelah pengikutnya
semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama dan
mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja
Carmain.
Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan
menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa yang seluruh Nusantara maka beliau kemudian
mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam. Tempat mendidik dan menggembleng
para santri sebagai calon mubaligh. Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu
diilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan pendeta Brahmana yang
mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah salah satu strategi para wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan
mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau
itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha
tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren
Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang. Dimana para ulama
menggodok calon Mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan
berbelit-belit melainkan di jawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi
yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, ummat harus dibuat
gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari
Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya : “Apakah yang dinamakan Allah itu ?” Beliau tidak
menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga hambaNya yang berbakti
dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya.”
Jawabnya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.” Dua tahun
sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing
ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberikan pengarahan
agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistim
pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para
petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup
rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang.
Sebagaimana sabda nabi bahwa kafakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa
beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep
yang harus ditiru.
Seorang imam surau, musholla atau masjid adalah pemimpin jamaahnya. Pada saat imam
mengucapkan, “Iya kana’budu waiyya kanasta’in, “KepadaMu kami menyembah dan kepadaMu
kami mohon pertolongan. Kemudian makmumnya mengaminkanya. Bisakah sang imam atau
pemimpin tadi menjamin bahwa makmumnya benar-benar hanya mengabdi, menyembah dan
mohon pertolongan hanya kepada Allah ?
Bagaimana jika shalat makmumnya tidak khusyu’? sebabnya tidak khusyu’ karena masalah
ekonomi. Apakah imam yang menjadi wakil makmum menghadapkan diri kepada Tuhan itu
bersiap masa bodoh dan tidak menghiraukan masalah ekonomi makmumnya. Sehingga setiap
kali memimpin shalat sang imam terus saja berbohong kepada Tuhannya bahwa dia menyatakan
siap mengabdi, menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi makmum atau orang yang
dipimpinnya ternyata belum siap dikarenakan masalah duniawi. Itulah sebabnya para Wali tidak
hanya membimbing agama kepada ummatnya melainkan juga berusaha meningkatkan taraf
kehidupan ummatnya
sumber : novel kisah walisongo : http://dimhad.6te.net
Satria Mega Pethak
Siang yang terik. Matahari memanggang bumi yang gersang di desa Tanggulangin.
Dari ujung desa nampak serombongan orang berkuda bersorak-sorai meneriakkan kata-kata
kasar dan kotor. Mereka memacu kudanya dengan kecepatan tinggi.
Penduduk desa, terutama wanita dan anak-anak yang berada di luar rumah, langsung berteriak
ketakutan dan masuk ke dalam rumah masing-masing ketika melihat gerombolan orang berkuda
itu memasuki jalanan desa.
Gerombolan orang berkuda itu ada sekitar dua puluh orang, terus memacu kudanya hingga
ketengah-tengah perkampungan penduduk.Dua orang berada di barisan terdepan mengangkat
tangannya tinggi-tinggi sebagai pertanda agar mereka yang dibelakangnya berhenti.
Agaknya dua orang yang berada paling depan itu adalah pemimpinnya. Yang pertama tubuhnya
tinggi besar, berewokan, ada membawa tanda tentara kerajaandi dadanya namun tanda itu
dikenakan enaknya saja tanpa mengindahkan aturan satuan pasukan. Yang seorang lagi
bertubuh sedang bahkan agak kurus, namun pakaiannyalebih bersih dan rapi. Hanya saja
pakaian yang dikenakannya adalah pakaian biasa pakaian para petani perdesaan.
Delapan belas orang di belakang lebih parah lagi. Potongan mereka memang seperti prajurit
kerajaan, tapi cara berpakaian mereka sudah tidak keruan.
“Hai penduduk Tanggulangin!” teriak si tinggi besar dan berewokan dengan kerasnya.” Aku
Julung Pujud ! Kuperintahkan kalian menyerahkan harta benda yang kalian punyai di pelataran
rumah masing-masing. Jika tidak ! Seluruh desa ini akan kuratakan dengan tanah, kubakar habis
rumah kalian !”
Tak ada reaksi maupun jawaban. Rumah para penduduk tetap tertutup rapat. Tak seorangpun
berani menampakkan diri.
Wajah si penunggang kuda berpakaian petani nampak murung mendengar ucapan orang yang
menyebut dirinya Julung Pujud itu. Namun dia hanya dapat menghela nafas panjang. “Sampai
kapan ini akan berlangsung ……….?” Gumannya lirih. Sebenarnya aku sudah muak
melakukannya.”
“Hei, Tekuk Panjalin ! “Tegur Julung Pujud.” Kau barusan bicara apa ?”
“Tidak apa-apa, “Sahut Tekuk Panjalin.” Tak usah dihiraukan.
“Jangan macam-macam,” tukas Julung Pujud.” Kita harus melakukannya. Terus melakukannya
hingga harta kita terkumpul banyak dan nantinya dapat kita gunakan untuk bersenang-senang
hingga tujuh turunan .”
Orang yang disebut Tekuk Panjalin hanya berdiam diri. Beberapa saat kemudian, karena tak
ada jawaban dari penduduk setempat. Wajah Julung Pujud nampak merah padam.
“Kurang ajar !” Bentaknya marah.” Di desa manapun orang akan membungkuk-bungkuk dan
menyembah kakiku jika mendengar namaku disebut. Tapi kalian penduduk Tanggulangin tidak
memandangku sebelah mata. Baik ! Kalian memang perlu diberi pelajaran!”
Ia menoleh kepada anak buah yang berada di belakangnya.
“Nyalakan obor !” Perintahnya. “Bakar semua rumah desa ini !”
Beberapa orang segera turun dari kuda untuk menyalakan obor yang sudah mereka siapkan.
Lalu naik lagi ke atas kuda beberapa rekannya yang lain tinggal menyahutkan api pada obor itu.
Dalam tempo singkat tiga belas orang itu sudah memegang obor menyala di tangan kanan.
Sementara tangan kirinya tetap memegang kendali kuda.
Kini mereka mulai mendekati rumah-rumah penduduk. Siap menyulutkan api ke dinding-dinding
rumah yang terbuat dari kayu dan beratapkan ilalang.
Sepasang mata Julung Pujud tiba-tiba menatap lurus ke arah sebuah bangunan aneh. Sebuah
rumah terbuat dari dinding kayu beratapkan genteng. Nampaknya baru saja didirikan di sebelah
barat pusat perkampungan. Sepasang matanya yang tajam dapat melihat sekelompok orang
sedang duduk bersila dengan mulut komat kamit.
Julung Pujud segera mendekati bangunan baru itu. Sepertinya Sanggar Pemujaan. Tapi makin
dekat hatinya makin yakin jika bangunan itu bukan tempat beribadahnya orang-orang beragama
Hindu maupun Budha.
Tepat pada saat itu orang yang duduk di bagian paling depan mengorak sila, berdiri dan
mengajak orang-orang yang berada di belakangnya untuk keluar menemui Julung Pujud.
“Hoooo ! Jadi kalian berkumpul dan bersembunyi di tempat ini. Apa yang kalian rundingkan.
Mau melawanku ?” tanya Julung Pujud dengan suara mengejek.
Seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun maju menghampiri Julung Pujud yang masih
duduk di atas kudanya. Wajahnya bersih bercahaya. Kepalanya dibungkus dengan kain putih
hingga sebagian rambutnya tak kelihatan kecuali di dekat pelipis dan telinga.
“Ki Julung Pujud !” tegur pemuda itu dengan suara mantap.” Sudah lama kudengar nama dan
sepak terjangmu ! Sungguh sangat kebetulan sekali sekarang dapat bertemu denganmu. Mana
anak buahmu ?”
Julung Pujud mendelik. Hampir saja sepasang matanya meloncat keluar saking marahnya. Baru
kali ini ada seorang penduduk berani berkata seperti kepada dirinya.
Biasanya mereka tak berani menatap wajahnya, menunduk bahkan menyembah-nyembah.
“Edan ! Gila !” umpatnya keras-keras. “Lancang sekali mulutmu anak muda. Sudah bosan hidup
rupanya. Katakan kaukah yang mengumpulkan para penduduk untuk bersembunyi di tempat ini
?”
Pemuda itu malah menatap lekat kearah Julung Pujud. Lalu ganti ke arah lelaki di sampingnya
yaitu Tekuk Penjalin yang lebih suka berdiam diri dan nampaknya lebih tenang.
Tak ada rasa takut maupun gentar. Julung Pujud benar-benar merasa dilecehkan.
Ki Julung Pujud ! Sebagian orang memang takut kepadamu. Terutama wanita yang lemah dan
anak-anak. Tetapi tadi kami berkumpul di surau bukannya bersembunyi. Melainkan sedang
mengerjakan shalat dhuhur !” jawab pemuda tampan itu.
Julung Pujud menoleh ke arah Tekuk Penjalin yang tetap berdiam diri namun sepasang matanya
menatap tajam-tajam ke arah si pemuda.
“Hem, akhirnya kita ketemu macan juga rupanya, “Guman Tekuk Penjalin lirih.
“Macan ?” tukas Julung Pujud. “Masih perlu dibuktikan lagi, apakah dia seekor macan atau
sekedar kucing buduk dan anjing kurap yang biasanya Cuma mengonggong !”
“Buktikanlah ! sahut Tekuk Penjalin tanpa basa basi.
“Baik, panggil anak buah kita supaya dapat menyaksikan bagaimana caranya aku menggebuk
anjing muda-muda ini supaya lari terkaing-kaing !” kata Julung Pujud sembari melompat dari
atas kuda dan langsung hinggap di hadapan si pemuda tampan.
Tekuk Penjalin memutar kudanya dan segera memacu ke arah anak buahnya yang sudah
bersiap-siap hendak membakar rumah-rumah penduduk.
Cepat berkumpul. Buang obor kalian ! Kita bakal menyaksikan pertandingan menarik!” teriak
Tekuk Penkalin begitu melihat anak buahnya.
Maka delapan belas orang berkuda itu segera mengikuti langkah kaki kuda Tekuk Penjalin untuk
menuju ke tempat Julung Pujud sedang berhadapan dengan si pemuda tampan.
“Anak muda !” hardik Julung Pujud.” Sebelum nyawamu lepas dari badan. Katakan siapa
namamu supaya orang-orangku mengetahui bahwa pernah ada seorang anak muda berani cobacoba
melawanku,
dan akhirnya
bernasib sial !”
“Namaku Ghafur ! Tetapi lidah orang-orang jawa memanggilku Gapur. Kuperingatkan
kepadamu, tinggalkan dunia kejahatan, jadilah orang baik-baik sebelum terlambat !”
“Hoo! Jadi namamu Kapur ?” ejek Julung Pujud” Pantas wajah dan kulitmu putih seperti
mayat. Dan memang kau akan segera jadi mayat !”
Tepat pada saat itu Tekuk Penjalin datang bersama tiga belas orang anak buahnya.
“Hem,” ujar Tekuk Penjalin. “Jadi kaupun ikut-ikutan jadi anjing, Pujud ? Apakah kaupun
hanya akan mengajak anak muda itu untuk saling mengonggong ?”
Julung Pujud melirik ke arah Tekuk Penjalin dengan hati mendongkol.
“Penjalin ! Aku hanya sekedar mengisi waktu untuk menunggu kedatanganmu !” ujarnya pedas.
“Nah, mulai meraung lagi. Kenapa tidak lekas kau bikin modar anak muda itu ?” tukas Tekuk
Penjalin.
Sementara itu pemuda bernama Gafur segera melipat lengan bajunya yang panjang.
Agaknya pertarungan antaranya dengan Julung Pujud tak bias dihindarkan lagi.
‘sebenarnya aku paling benci menggunakan kekerasan. Tapi kepala kalian memang kepala batu
yang patut dipukul dengan tangan besi !” ujar Gafur.
“Hiaaaaat !” Tanpa basa basi lagi karena malu terus diejek Tekuk Penjalin, lelaki berewokan
itu menerjang maju ke arah Gafur. Sepasang tangannya membentuk cakar rajawali di arahkan
ke wajah Gafur yang putih bersih.
Semua orang, terutama para pendududk desa yang berdiri di belakang Gafur berteriak kaget.
Sebab Gafur sepertinya tak bereaksi, hanya diam saja, Seolah membiarkan Julung Pujud
menampar dan mencakar wajahnya begitu saja.
“Plak ! Dess !” ternyata tidak. Begitu jarak serangan tinggal sekilan (kurang lebih 10 cm) Gafur
menangkis tangan yang hendak mencengkeram wajahnya bahkan langsung balik mengirim
serangan dengan menendang dada Julung Pujud.
Julung Pujud mengaduh kesakitan dengan tubuh terdorong ke belakang beberapa langkah.
Dadanya terasa bagai di hantam palu godam puluhan kilo. Benar-benar kecele.
Sudah diperhitungkan, melihat keberanian si pemuda tentulah Gafur itu mempunyai sedikit
kepandaian. Tapi sungguh tak disangkanya jika kepandaian ilmu silat si pemuda demikian
tingginya sehingga sekali gebrak dia dibikin mundur sempoyongan dengan dada ampek.
Tadinya ia berharap akan meringkus pemuda itu dengan sekali serangan saja. Itu sebabnya dia
langsung mengerahkan jurus Rajawali Sakti tingkat ke delapan belas. Dia ingin mencengkeram
dan langsung memutar leher Gafur, sekali pelintir putuslah nyawa pemuda itu.
Tapi siapa sangka keadaan jadi terbalik. Justru dia yang terkena tendangan telak. Kini dengan
wajah merah padam Julung Pujud langsung mencabut golok di pinggangnya. Dan dengan
teriakan mengguntur dia merangsak lagi ke depan. Menebaskan goloknya ke arah perut Gafur.
Namun dengan mudahnya pemuda itu berkelit ke sana kemari.
Semua serangan Julung Pujud hanya mengenai tempat kosong. Keringat dingin segera
membasahi wajahnya. Ia merasa malu dan penasaran. Tekuk Penjalin juga merasa terkejut.
Dia adalah seorang pendekar kawakan. Belum pernah dia melihat kecepatan gerak seorang
pesilat seperti Gafur. Ia terus memperhatikan cara-cara Gafur mengelak dan balas menyerang.
Akhirnya dia dapat menyimpulkan ciri khas dari ilmu silat yang dimiliki pemuda itu.
“Lembu Sekilan ………. ?” teriaknya agak ragu.
Julung Pujud yang mendengar teriakan Tekuk Penjalin terkejut sekali. Lembu Sekilan adalah
ilmu tingkat tinggi. Tak sembarang orang mampu mempelajari ilmu itu. Tapi Gafur yang berusia
semuda itu sudah menguasainya dengan baik. Sehingga setiap serangan yang dilancarkan tidak
akan pernah menyentuhnya. Selalu berjarak kurang dari sekilan dari sasaran. Tiga puluh jurus
telah berlalu. Selama ini Gafur lebih banyak mengalah. Ia lebih sering mengelak atau
menangkis, hanya sesekali balas menyerang dengan tenaga biasa.
Sementara Julung Pujud sangat bernafsu merobohkan atau membunuh pemuda itu dengan
seluruh kemampuan yang ada. Ia telah mengerahkan semua ilmunya. Baik ilmu yang
dipelajarinya dari satuan pasukan elite Majapahit maupun ilmu kotor dengan jurus-jurus keji
yang penuh gerak tipuan. Semua itu ternyata tak mampu dipergunakan untuk menyentuh tubuh
Gafur.
“Dasar tak tahu diri !” tiba-tiba Tekuk Penjalin angkat bicara. “Kalau mau sebenarnya sudah
mampu mencabut nyawamu sejak tadi !”
Julung Pujud makin panas mendengar ejekan rekannya itu. Tekuk Penjalin memang selalu jadi
saingannya dalam segala hal. Ilmu mereka berimbang tapi Tekuk Penjalin nampak lebih tenang
dan penuh perhitungan. Tak gampang terbawa arus nafsu amarah yang merusak segala
pertimbangan akal sehat. Kini Julung Pujud menyerang Gafur dengan membabi buta. Hingga
suatu ketika Gafur merasa sudah saatnya memberikan pelajaran kepada pemimpin gerombolan
perampok itu.
“Trang ! Desss ! Desss !”
Saat itu Julung Pujud membacokan goloknya ke arah kepala Gafur. Gafur menangkis dengan
tangan kirinya. Semua orang terkejut. Mengira tangan Gafur yang bakal putus dibabat golok itu.
Ternyata justru golok itulah yang patah menjadi dua. Dan sebelum hilang rasa terkejutnya,
Julung Pujud tahu-tahu merasa perutnya kena tendangan teramat keras dari sepasang kaki
Gafur yang dilancarkan secara beruntun. Tubuh Julung Pujud terjungkal ke belakang dengan
terjembab ke tanah dengan keras sekali. Mulutnya mengeluarkan darah segar. Nafasnya
terengah-engah. Tiga belas anak buahnya hanya memandanginya dengan bengong, tak tahu apa
yang harus dilakukannya.
Goblok !” umpatnya dengan nafas tersenggal. “Mengapa kalian diam saja. Cepat serbu bangsat
itu ! Bunuh dia !”
Delapan belas prajurit itu langsung turun dari kudanya masing-masing. Dengan menghunus
golok di tangan mereka menyerbu ke arah Gafur.
Namun puluhan penduduk yang tadinya hanya berdiri di belakang Gafur segera mengambil
senjata seadanya. Dan mereka segera menyerbu ke arah kawanan perampok yang hendak
mengeroyok Gafur.
Ternyata ada beberapa pemuda desa yang telah mempunyai kepandaian ilmu silat. Dan cukup
membuat kawanan rampok itu repot meladeni serangannya. Belum lagi puluhan penduduk yang
menyerang dengan nekad dengan senjata parang, golok, tombak, cangkul, tongkat penumbuk
padi, lemparan batu dan sebagainya.
Selama menjarah desa puluhan kali belum pernah kawanan rampok itu mendapat perlawanan
sesengit ini. Biasanya para penduduk desa sudah mengkeret begitu mendengar gertakan
mereka. Tak ada yang berani melawan.
Apa yang dikatakan Tekuk Penjalin bahwa mereka sedang bertemu dengan macan rupanya
benar-benar menjadi kenyataan. Seluruh penduduk desa Tanggulangin agaknya telah berubah
menjadi sekawanan harimau terluka. Siap menerkam siapa saja yang coba-coba mengusik
ketenangannya. Julung Pujud melangkah tertatih-tatih ketepian. Menjauhi pertempuran.
Mendekati kudanya yang ditambatkan pada sebatang pohon sawo. Sementara delapan belas
anak buahnya bertarung sengit dengan puluhan penduduk desa. Tekuk Penjalin langsung
meloncat ke depan Gafur.
“Senang sekali bertemu denganmu anak muda.” Katanya dengan wajah berseri-seri.
“Sudah lama sekali aku tak bertemu lawan tangguh yang dapat mengimbangi ilmuku.”
11
Habis berkata demikian dia langsung melancarkan serangan dari jarak jauh.
Serangkum hawa panas meluncur ke dada Gafur. Pemuda itu, sudah merasakan kesiuran angin
sebelum tenaga dalam yang dilancarkan Tekuk Penjalin mengenai tubuhnya. Cepat ia membaca
beberapa ayat Al-Qurán. Kedua telapak tangannya dibentangkan lebar-lebar untuk menangkis.
“Wesssss .......... ! Hiaaaaat ! Tap !”
Cerdik sekali Tekuk Penjalin. Ia sudah menduga serangannya bakal membalik. Maka dia
meloncat tinggi-tinggi ke arah pohon mangga. Dan hinggap disalah satu dahannya. Gafur
memandangnya sejenak. Kemudian menoleh ke arah penduduk desa yang sedang bertempur
melawan kawanan perampok. Ia mengerutkan dahi. Buas dan brutal sangat cara para perampok
itu bertempur. Beberapa penduduk berhasil dilukainya, bahkan ada lima orang penduduk yang
sudah roboh di atas tanah dengan luka parah terbabat golok.
“Aku tak bisa membiarkan ini terjadi.” Gumannya lirih. Lalu meloncat ke arah Tekuk Penjalin
yang masih tertengger diatas dahan pohon mangga.
Tampa diduga tiba-tiba Tekuk Penjalin menyambitkan sebuah daun ke arahnya. Gafur
berjumpalitan di udara beberapa kali untuk menghindari daun mangga yang meluncur bagai
sebatang anak panah.
“Tasss ! Jreppp !”
Gafur berhasil menghindari sembitan daun mangga yang telah diisi dengan tenaga sakti. Daun
itu mengenai batang pohon pisang di sebelahnya, tembus dan meluncur lagi ke arah batang
pohon kelapa. Amblas dan menancap do batang pohon kelapa itu.
Gafur bergidik ngeri. Bagaimanakah jika daun itu mengenai tubuhnya ?
Nalurinya berkata lawannya kali ini bukan sembarang orang. Melainkan lawan tangguh yang
mempunyai ilmu sangat tinggi. Ia sudah berhasil hinggap di salah satu dahan pohon mangga,
tepat diseberang Tekuk penjalin.
“Ki Tekuk Penjalin, andika seorang pendekar perkasa, “Tegur Gafur dengan sopan sekali.
“Mengapa harus berloncatan ke dahan pohon seperti tupai ? Mari kita tuntaskan pertarungan ini
di atas tanah.”
“Kau takut bertempur di atas pohon ? Ejek Tekuk Penjalin.
“Andika salah sangka. Saya hanya tidak mau merusak pohon ini tanpa suatu alasan yang benar.
Kasihan penduduk desa yang telah menanamnya dengan susah payah selama puluhan tahun”
ujar Gafur dengan suara datar.
Tekuk Penjalin melangak. Hanya sebatang pohon mangga. Pemuda itu demikian
menghargainya. Ia merasa malu karena selama bertahun - tahun membunuh dan
memperlakukan manusia bagaikan barang yang tidak berharga.
“Baiklah, kuturuti apa maumu !” kata Tekuk Penjalin sembari melayang turun. Dengan ringan
tubuhnya hinggap di atas tanah.
Gafur melakukan hal serupa. Bahkan gerakannya membuat Tekuk Penjalin tercekat.
Cepat bagai kilat namun indah bagaikan sehelai daun kuning jatuh ke tanah.
“Nah, majulah anak muda !” tantang Tekuk Penjalin.
Gafur memang bermaksud segera menyudahi pertempuran itu. Ia merasa kasihan pada para
penduduk desa yang terus menerus berjatuhan karena kalah pengalaman dibanding kawanan
perampok yang asalnya memang dari pasukan tempur kerajaan Majapahit.
Tampa basa basi lagi Gafur mengerahkan ilmunya. Ilmu silat yang berasal dari Perguruan AlKaromah.
Tekuk Penjalin langsung roboh terjungkal
ke tanah. Nafasnya
terengah-engah.
Mulutnya
mengeluarkan darah segar. Beberapa
bagian tubuhnya nampak matang
biru.
Melihat kenyataan itu. Julung Pujud yang sudah naik ke atas punggung kuda menjadi kecut
hatinya. Ia menggiring kudanya secara diam-diam untuk menjauhi arena pertarungan. Rupanya
Julung Pujud bersiap-siap hendak melarikan diri jika ternyata pihaknya menderita kekalahan.
“Ilmu setan ……….!” Desis Tekuk Penjalin dengan pandang mata penasaran.
“Andika keliru !” sahut Gafur sembari melangkah mendekati Tekuk Penjalin yang terkapar
tanpa dapat bangun lagi.” Kami bahkan sangat membenci ilmu setan. Ilmu yang barusan
kupergunakan tadi adalah ilmu Pencak Silat Karomah.”
“Kau berasal dari perguruan mana ?”
Garawesi !” Sahut Gafur menoleh ke arah penduduk yang masih terus bertempur dengan
kawanan perampok.
Kemudian berpaling dan mendekati ke arah Tekuk Penjalin.
“Cepat perintahkan anak buahmu untuk menyerah !” Bentak Gafur dengan pandang mata
mencorong.
Tekuk Penjalin hanya diam saja. Gafur jadi gelisah. Ia melangkah makin dekat. Sepasang
kakinya berdiri di sisi tubuh Tekuk Penjalin yang terkapar. “Jika kau tak mau perintahkan anak
buahmu menyerah, maka sekali kuinjakkan kakiku ke dadamu, pasti kau akan mati !” ancamnya
tanpa main-main.
Tekuk Penjalin masih tak mau buka suara. Sepasang matanya memandang Gafur dengan penuh
penasaran. Rasanya dia masih belum percaya jika telah dirobohkan pemuda itu hanya dalam
tiga kali gebrakan. Benar-benar mustahil. Tapi kenyataan telah membuka pandangan hidup
bahwa seolah-olah di dunia ini tidak ada orang sakti selain dirinya.
“Cepat ! perintahkan anak buahmu untuk menyerah ! “ Ancam Gafur dengan hati galau. Kini ia
mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Siap dihantamkan ke dada Tekuk Penjalin.
Tekuk Penjalin sendiri masih bungkam. Hatinya bergolak, “Bertahun-tahun aku mengembara.
Ingin bertemu dengan tokoh silat tingkat tinggi, kini tokoh itu ternyata hanya seorang anak
muda. Aku kecewa, daripada hidup menanggung malu, lebih baik aku mati ditangannya.”
Tanpa diduga oleh Gafur, tiba-tiba Tekuk Penjalin menggerakkan mulutnya. Bukan untuk
memberi perintah agar anak buahnya menyerah. Melainkan justru meludahi wajah Gafur yang
hendak menginjak dadanya.
“Juhhhhh .......... !”
Gafur tak sempat mengelak. Ludah itu menempel di wajahnya. Seketika wajahnya yang putih
bersih berubah jadi merah padam pertanda marah.
Sepasang tangannya terkepal erat. Kaki kanannya bergetar hebat menahan amarah. Sekali injak
tentu ambrol dada Tekuk Penjalin. Melihat wajah Gafur yang merah membara itu tergetarlah
hati Tekuk Penjalin, bagaimanapun sebenarnya dia tidak rela mati begitu saja. Kini lenyaplah
kepongahan hatinya. Berubah jadi kecut dan ciut. Wajahnya seketika berubah jadi pucat pasi.
“Kali ini tamatlah riwayatku .......” Desis Tekuk Penjalin melihat kaki kanan Gafur diangkat
tinggi-tinggi. Siap menggempur dadanya.
Tiba-tiba terjadilah keanehan. Gafur mengrungkan niatnya menghantam dada Tekuk Penjalin
dengan kakinya. Dia menarik kaki kanannya dan berdiri dengan sikap biasa. Terdengar ia
menyebut , “Astaghfirullah ..”
Wajahnya yang tadi merah pedam karena dialiri darah amarah yang menggelegak mendadak
berubah lagi jadi putih bersih. Perlahan dia membersihkan ludah Tekuk Penjalin yang
menempel di wajahnya.
“Mengapa ? mengapa aku tak jadi kau bunuh ?” tanya Tekuk Penjalin keheranan.
“Karena tadi kau telah membuatku marah !” jawab Gafur datar.
“Aku tidak boleh menghukum orang dalam keadaan marah. Itu termasuk dosa !”
“Kenapa berdosa ?” ujar Tekuk Penjalin masih penasaran.” Bukankah aku ini perampok jahat
yang pantas di bunuh ?”
“tadi .......... “kata Gafur.” Sebelum kau meludahiku dan sebelum aku marah. Aku boleh
membunuhmu karena niatku membunuhmu adalah untuk jihad fi sabilillah, memerangi
kejahatan. Tetapi setelah kau meludahi, maka hatiku jadi marah. Yang marah adalah aku
pribadi. Karena diri pribadiku tersinggung. Sedangkan aku tak boleh mencampur adukkan
antara kepentingan pribadi dengan niat berjuang di jalan Allah. Saat aku marah hatiku sudah
menyeleweng dari jalan Allah, jadi aku akan menanggung dosa besar jika membunuhmu atas
dasar kebencian pribadi. Bukan atas dasar perang di jalan Allah, yang sesuai dengan ajaran
agamaku !”
Tekuk Penjalin tertegun. Hatinya bergolak.
“Betapa luhur ajaran agamamu, apakah nama agama yang kau anut itu ?” tanya Tekuk
Penjalin.
“Islam !” jawab Gafur. “Islam artinya selamat. Siapa yang memeluk agama Islam akan selamat
hidupnya di dunia dan akhirat.”
“Aku ………. adalah bekas perwira Majapahit yang membelot dan menjadi pemimpin rampok.
Kejahatanku bertumpuk-tumpuk, apakah Tuhanmu masih mau mengampuniku ?” tanya Tekuk
Penjalin.
“Kenapa tidak ?” Sahut Gafur. “Misalkan dosamu setinggi gunung sepenuh langit dan bumi.
Namun kalau kau masuk agama Islam, dan bertobat secara sungguh-sungguh. Artinya kita tidak
akan mengulangi perbuatanmu yang jahat, menggantinya dengan perbuatan baik, maka Tuhan
akan mengampunimu. Dosa-dosa di masa lalu akan dihapus semua.”
“Benarkah begitu ?” sahut Tekuk Penjalin ragu.
“Aku bicara apa adanya. Dusta adalah suatu dosa !” sahut Gafur.
Tiba-tiba Tekuk Penjalin berusaha bangkit untuk berdiri. Karena tubuhnya masih lemah maka ia
segera roboh lagi. Gafur cepat menyambarnya. Sementara itu, pertempuran antara penduduk
desa dengan kawanan perampok masih berlangsung seru. Tiba-tiba terdengar bentakan yang
membahana.
“Berhenti ! Hentikan pertempuran !”
Semua orang terkejut dan segera menghentikan pertempuran. Ternyata bentak itu berasal dari
Tekuk Penjalin. Dia berdiri tegak di samping Gafur. Gafur telah menolong Tekuk Penjalin
sehingga tubuhnya kembali segar bugar seperti semula.
“Dengarkan ! Mulai sekarang kutinggalkan dunia kejahatan. Aku tak mau lagi hidup bergemilang
dosa. Hari ini juga aku masuk agama Islam dam menjadi pengikut saudara Gafur Satria Mega
Pethak !”
Semua orang terkejut mendengar perkataan itu. Baik dari kalangan penduduk desa maupun
para perampok itu sendiri. Sementara bagi Pulung Pujud ucapan Tekuk Penjalin itu bagaikan
petir menyambar di telinganya. Jika Tekuk Penjalin yang tadinya andalan gerombolannya sudah
menyeberang ke pihak lain, maka tamatlah riwayatnya. Tekuk Penjalin menatap wajah seluruh
anak buahnya.
“Kalian boleh pilih, tetap menjadi gerombolan perampok dengan risiko diburu petugas
pemerintah Majapahit dan dimusuhi seluruh rakyat atau hidup baik-baik, bertobat dan
membaur dengan masyarakat !”
Delapan belas perampok itu sekarang tinggal lima belas. Tiga rekannya telah mati di tangan
penduduk desa. Delapan orang langsung membuang senjatanya ditanah begitu mendengar
seruan Tekuk Penjalin.
Tujuh lainnya berlari ke arah kudanya masing-masing dan bergerak menuju Julung Pujud. “Ki
Tekuk Penjalin ! Tidak sudi kami mengikuti jejakmu. Biarkan kami menempuh jalan kami
sendiri !”
“Terserah kalian !” sahut Tekuk Penjalin. “Tapi jangan coba-coba mengganggu desa ini lagi.
Bila itu kalian lakukan maka aku sendiri yang bakal membasmi kalian !”
“Ha ha ha ha .......... !” Julung Pujud tertawa keras. “Mari anak buahku yang jantan !” kita
tinggalkan Tekuk Penjalin yang telah menjadi banci !”
Julung Pujud mendahului memacu kudanya keluar desa. Diikuti tujuh orang anak buahnya yang
tidak mau menerima fitrah kebenaran abadi. Beberapa penduduk desa yang masih merasa
geram dan dendam segera menendang dan memukuli delapan perampok yang telah menyerah,
duduk bersimpuh di atas tanah tanpa mengadakan perlawanan sama sekali.
Gafur segera membentak ke arah penduduk desa, “Hentikan ! tidak pantas menyerang orang
yang sudah menyerahkan diri !”
“Mereka sudah membujuk teman-teman kami !” protes penduduk.
“Serahkan mereka padaku. Aku akan mengurusnya !” jawab Gafur dengan suara berwibawa.
Kemudian ia memberi isyarat kepada seluruh penduduk untuk berkumpul. Ki Tekuk Penjalin
dan anak buahnya duduk bersimpul di belakang Gafur, menghadap ke arah penduduk desa yang
segera berkumpul di hadapan Gafur.
“Sudah kalian saksikan sendiri, “Gafur membuka suara.” Muslim yang kuat lebih disukai Allah.
Dengan adanya kekuatan kita dapat mempertahankan diri dari pemaksaan kehendak orang lain,
itulah sebabnya para pemuda di desa ini kuajari ilmu pencak silat di samping belajar ilmu
agama !”
Demikianlah, secara panjang lebar Gafur memberikan bimbingan kepada penduduk setempat
untuk mengenal dan memperdalam agama Islam. Bukan hanya sekedar ceramah saja. Melainkan
dibuktikan dengan perbuatan nyata. Gafur adalah murid si Kakek Bantal yang ditugaskan
membina desa-desa tertinggal, dan masyarakat yang belum mengenal Islam. Dia membantu
para penduduk untuk meningkatkan taraf kehidupannya dengan cara membimbing mereka
bertanam padi dengan cara yang lebih baik. Dengan ilmu pengobatan yang dipelajari dari
gurunya ia juga telah banyak menolong para penduduk yang menderita sakit.
Penduduk setempat akhirnya menaruh simpati. Di saat itulah Gafur baru menawarkan dan
mengenalkan keindahan dan keluhuran agama Islam kepada mereka. Tekuk Penjalin dan anak
buahnya dibina di desa itu. Akhirnya mereka menjadi orang baik-baik dan menjadi pelindung
desa dari rongrongan para perampok.
Itulah cara dakwah yang ditempuh oleh Gafur yang oleh Tekuk Penjalin disebut sebagai Satria
Mega Pethak atau Satria Awan putih. Seputih hati dan sebersih jiwa pemuda dalam menempuh
perjalanan hidupnya.
Gafur sangat toleran terhadap kepentingan pribadi, patuh terhadap ajaran agama.
Teguh menjauhi kemungkaran dan tiada henti-hentinya menegakkan kebenaran yang dinodai
sekelompok orang tak bertanggung jawab. Gafur hanyalah salah satu di antara sekian banyak
murid Kakek Bantal yang tinggal di Garawesi atau Gresik. Lalu siapakah si Kakek Bantal itu.
“Ya, siapakah sebenarnya Guru saudara Gafur yang disebut Kakek Bantal itu ?” tanya Tekuk
Penjalin pada suatu hari.
Gafur tersenyum lalu menjawab, “Kakek Bantal adalah seorang ulama besar dari Negeri
Seberang. Beliau tinggal di Jawa, tepatnya di Gresik. Bantal artinya Bumi. Disebut demikian
karena beliau mampu membaur dengan penduduk setempat sehingga boleh dikatakan sudah
membumi dengan lingkungan dan masyarakat sekitar. Ada pula yang mengatakan Bantal adalah
bantal untuk alas tidur, sebab beliau sangat berilmu tinggi. Petuah dan nasehatnya melegakan
semua orang yang mendengarkannya sehingga hati dan jiwa menjadi tenang, setenang saat
mereka tidur nyenyak diatas bantal empuk.”
Menanti Tetes Air
Sejak kematian Maha Patih Gajah Mada dan Prabu Hayam Wuruk, kerajaan Majapahit
mengalami kemunduran drastis. Berangsur-angsur kerajaan yang dahulu pernah dipersatukan
Gajah Mada, mulai memisahkan diri, baik secara terang-terangan maupun dengan
sembunyisembunyi. Namun demikian Majapahit masih merupakan kerajaan terbesar di Pulau
Jawa. Wibawanya masih terasa kuat di dunia luar, walaupun sesungguhnya dari dalam kerajaan itu
sudah sangat keropos. Perang saudara antara kerabat istana tiada henti-hentinya. Rakyat
menjadi korban. Kesengsaraan dan bahaya kelaparan melanda di mana-mana. Kesetiaan para
pembesar dan bupati mulai menipis. Banyak upeti kerajaan yang tidak sampai ke tangan raja.
Kejahatan melanda di mana-mana, banyak tindak kekerasan, perampokan dan pencurian.
Bahkan banyak satuan-satuan tentara kerajaan yang melepaskan diri dan beralih profesi
sebagai gerombolan perampok yang menjarah harta benda kaum bangsawan dan rakyat jelata.
Karena tak ada jaminan stabilitas keamanan maka para penduduk merasa tak tenang dalam
mengolah lahan pertanian mereka. Akibatnya bahaya kelaparan melanda di mana-mana.
Ditambah adanya musim kemarau panjang di beberapa tempat, maka situasi jadi semakin
menggenaskan.
Di saat demikian sesekali si Kakek Bantal dan beberapa muridnya mengadakan peninjauan
langsung ke beberapa daerah. Ingin melihat sendiri keadaan dan nasib penduduk setempat.
Pada suatu hari Kakek Bantal dan lima orang muridnya sampai di sebuah desa yang teramat
gersang. Hampir tak ada pepohonan yang hidup. Tanah-tanah yang terinjak sangat kering, tak
ada rerumputan sama sekali.
Mereka terus berjalan hingga tiba di suatu tanah lapang yang cukup luas. Di tengah-tengah
tanah lapang itu nampak puluhan penduduk sedang berkerumun. Mengelilingi dua orang
pemuda bertubuh kurus sedang berlaga. Dua orang pemuda itu hanya mengenakan celana,
tubuh bagian atasnya terbuka. Mereka saling memukulkan sebatang rotan ke punggung masingmasing.
Setiap pukulan nampaknya disertai tenaga
yang
sangat
kuat
sehingga punggung yang
terkena
menjadi
matang
biru bahkan ada beberapa
dari melintang
yang penuh darah.
Terus menerus kedua pemuda itu saling menghantamkan rotan ditangannya. Hingga kedua
punggung anak muda itu penuh luka yang melepuh. Beberapa lelaki yang mengelilinginya
menabuh gending untuk memberi semangat. Hingga pada akhirnya kedua pemuda itu roboh ke
tanah dalam keadaan pingsan.
Irama gending segera berhenti.
Seorang pendeta berpakaian kuning, yang agaknya menjadi ketua adat segera memberi
perintah untuk menyeret kedua pemuda itu keluar arena. Kemudian pendeta itu menuding ke
arah seorang gadis yang sedang dicekal kedua lengannya oleh dua orang lelaki bertubuh kekar.
“Bawa kemari anak perawan itu !” Teriak sang pendeta.
Kedua lelaki bertubuh kekar menyeret si gadis ke tengah lingkaran menusia berkerumun. Di
tengah-tengah lingkaran itu ada batu altar persembahan.
“Jangan ! Jangan bunuh aku !” teriak gadis itu ketakutan. Dia berusaha berontak, namun
tenaganya kalah kuat dibanding ke dua lelaki bertubuh kekar yang mencekal dan menyeretnya
dengan paksa.
Si gadis yang sudah diberi pakaian putih segera dibaringkan di atas altar. Empat orang lelaki
memegangi kedua tangan dan kakinya yang dipentangkan. Gadis itu meronta-ronta ketakutan.
Kakek Bantal makin tertarik, ia kelima muridnya makin mendekati kerumunan orang itu. Kini
sang pendeta mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi sembari mendongkak ke atas langit.
“Wahai Dewa Hujan ! Terimalah perembahan kami ! Hentikan kemarau panjang ini. Curahkan
limpahan airmu ke bumi yang gersang ini !” Demikian teriaknya berkali-kali. Si pendeta tua
segera mendekati si gadis dengan senyum menyeringai. Ia melemparkan tongkatnya lalu
mencabut belati dari balik pinggangnya.
Hai perawan suci, serahkan dirimu dengan rela kepada Dewa Hujan. Sederas darah yang keluar
dari jantungmu sederas itu pula hujan yang akan diturunkan oleh sang Dewa. Pengorbanan mu
tidak akan dilupakan oleh seluruh penduduk desa ini !”
“Jaj ...... jangan ...... ! Aku tidak mau ...... !” rintih si gadis cantik dengan tubuh gemetar
ketakutan.
“Diam !” bentak lelaki berwajah seram yang memegangi tangan si gadis. Wajah si gadis
langsung mengkeret, pucat pasi.
“Ayo kita mulai !” kata sang pendeta. Keempat lelaki yang memegangi sepasang tangan dan
kaki si gadis makin mempererat cekalannya. San pendeta mendekati altar persembahan.
Ia mengangkat belati itu di atas dada si gadis. Tepat di atas jantungnya. Agaknya ia hendak
menikam jantung si gadis cantik dengan belati itu.
“Berhenti !” tiba-tiba terdengar seruan lembut namun jelas terdengar oleh semua orang.
Kakek Bantal dan kelima orang muridnya menerobos kerumunan orang. Langsung menghampiri
si pendeta yang memegang belati, siap dihujamkan ke jantung si gadis. “Untuk apa gadis ini
dikorbankan ?” tanya Kakek Bantal.
Kami mengharap turunnya hujan !” sahut sang Pendeta dengan nada ketus. Dia sangat tidak
suka atas kedatangan Kakek Bantal itu.
“Hujan ?” tanya Kakek Bantal. “Mengharap hujan dengan mengorbankan seorang gadis gadis
cantik ?”
“Ya, hanya dengan mengorbankan gadis itu kepada Dewa Hujan maka kami akan mendapat
air.” Sahut sang pendeta.
“Sudah berapa kali acara seperti ini dilakukan ?” tanya Kakek Bantal lagi. Sang pendeta tidak
segera menjawab. Dia tidak suka urusannya dicampuri orang lain. Maka ia segera memberi
isyarat agar kedua orang kaki tangannya yang bertubuh kekar untuk mengusir Kakek Bantal.
Dua orang bertubuh kekar segera menghunus goloknya masing-masing lalu menghampiri Kakek
Bantal. Tanpa basa-basi mereka langsung mengayunkan goloknya untuk membelah kepala
Kakek Bantal.
Namun sungguh aneh. Saat keduanya mengangkat golok, tiba-tiba gerakannya terhenti. Mereka
berdiri kaku dengan golok di tangan sedang terangkat tinggi-tinggi. Sang pendeta terbelalak
menyaksikan hal itu.
Namun ia tak mau rencananya berantakan. Segera ditikamnya belati yang dipegangnya ke
jantung si gadis cantik. Namun ia berteriak kaget. Tangannya tak dapat digerakkan untuk
meluncurkan belati itu ke dada si gadis.
“Kau ...... ? Kau ...... ?” teriak sang pendeta sembari menuding ke arah Kakek Bantal.” Mau
apa kau mengganggu jalannya upacara ini ?”
Kakek Bantal dan kelima muridnya maju ke tengah arena.
“Maaf kisanak, sudah berapa kali kau korbankan gadis-gadis suci itu kepada Dewa Hujan ?”
tanya Kakek Bantal.
“Sudah dua kali !” jawab pendeta dengan sengit.
“Hem, dua kali, “ulang Kakek Bantal.” Jadi sudah dua jiwa melayang sia-sia !”
“Pengorbanan mereka tidak sia-sia, “Tukas pendeta tua.
“Apakah dengan mengorbankan kedua gadis tadi hujan sudah turun ke desa ini ?” tanya Kakek
Bantal.
Pendeta tua tidak segera menjawab, tetapi orang yang berkerumun tanpa dapat dicegah lagi
menjawab dengan serentak, “Belum …… “.
Wajah sang pendeta nampak jadi beringas mendengar jawaban orang-orang desa itu. Dengan
lantang ia berkata, “Hujan belum turun karena pengorbanan baru dilakukandua kali. Dewa
Hujan akan menerima pengorbanan yang dipersembahkan tiga kali. Barulah sesudah itu hujan
akan diturunkan !”
Bagaimana jika pengorbanan dilakukan ketiga kalinya tetapi hujan belum turun juga? Tanya
Kakek Bantal.
Merah padam wajah sang pendeta. Dia memberi isyarat kepada dua lelaki kekar dibelakangnya
untuk meringkus Kakek Bantal yang dianggapnya sebagai pengacau. Dua lelaki itu, yang
agaknya adalah pengikut setia sang pendeta segera bergerak maju. Mereka bermaksud
menghajar Kakek Bantal hingga babak belur. Tapi sungguh aneh, sepasang kaki mereka tibatiba
terasa kejang tanpa ada sebabnya. Keduanya melolong kesakitan sembari memegangi pahanya.
“Kau bermaksud menentang kami hai orang asing !” bentak pendeta tua.” Kau sengaja
mengganggu upacara kami !”
“Aku tidak bermaksud mengganggu. ujar Kakek Bantal. “Aku dan kelima muridku bermaksud
menolong orang-orang desa ini.”
“Puih !” pendeta tua meludah sambil bertolak pinggang.” Apa yang dapat kau berikan kepada
warga desa ini ?”
“Apa yang kalian inginkan dari kami ?” Kakek Bantal balik bertanya.
“Hujan ! Kami minta hujan !” jawab para penduduk desa serentak.
“Cuma hujan ?” ujar Kakek Bantal.
Huh !” Dengus pendeta tua.” Lagak bicaramu seolah dunia ini berada dalam genggamanmu !
Coba turunkan kalau kau bisa. Tapi ingat, jika kau gagal melakukannya maka kami tak segansegan
akan membunuhmu, karena kau berani mengganggu upacara kami !”
“Jika Allah mengijinkan maka hujan pun akan segera turun !” kata Kakek Bantal dengan tenang.
“Allah ? Siapa Allah ?” tanya pendeta tua.” Mengapa minta ijin segala kepadanya ?”
“Allah adalah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi beserta segala isinya. Termasuk yang
menciptakan kita semua,” Ujar Kakek Bantal.
“Sudah ! Jangan bicara ! Jika kau memang bisa menurunkan hujan cepat lakukan saja!” bentak
pendeta tua.
“Boleh saja, tapi dengan syarat, jika kami bisa menurunkan hujan aras ijin Allah, maka kalian
harus membebaskan gadis itu !” kata Kakek Bantal.
“Untuk apa ?” tukas pendeta tua.” Kedua orang tua gadis itu sudah mati. Dia tak punya sanak
kadang, sudah pantas jika dia terpilih sebagai persembahan untuk Dewa Hujan !”
Kakek Bantal menghadap ke arah kerumunan orang-orang desa, kemudian bertanya, Kalau kami
dapat menurunkan hujan. Maukah kalian membebaskan gadis itu ?”
“Mauuuuu …… !” jawab orang-orang desa dengan serentak.
“Terima kasih,” jawab Kakek Bantal.” Dalam ajaran agama kami, seorang anak yang ditinggal
mati kedua orang tuanya disebut yatim piatu. Tidak boleh disia-siakan dan ditelantarkan,
melainkan harus disantuni dan diperhatikan nasibnya. Bukannya dikorbankan kepada Dewa
Hujan !”
Para penduduk desa nampak tercenung mendengar ucapan Kakek Bantal. Sementara Kakek
Bantal dan kelima muridnya yang selalu berusaha dalam keadaan suci (tak batal wudhu’nya)
segera melaksanakan shalat istisqo’ dan berdoá dengan khusyu’nya.
Tak berapa lama kemudian, langit tiba-tiba berubah menjadi hitam oleh mendung yang
berarak. Dan hujan turun dengan derasnya. Membasahi bumi yang kering kerontang. Semua
orang yang berkumpul langsung bersorak-sorai kegirangan. Hanya pendeta tua dan keempat
lelaki yang masih memegangi tangan dan kaki gadis yang berdiam diri dalam keangkuhannya.
“Sihir ! Pasti kalian mempergunakan ilmu sihir, “teriak pendeta tua, “Hujan itu tidak nyata,
hanya khayalan saja !”
Kakek Bantal segera menghampiri pendeta tua sembari berkata, “Kisanak, sihir itu terlarang
bagi orang Islam. Kami tidak boleh mempelajarinya apalagi mengamalkannya. Hujan ini adalah
nyata rahmat dari Allah yang menciptakan langit dan bumi !”
Agaknya pendeta tua itu tak mau mengakui kenyataan yang ada. Dia memberi isyarat kepada
keempat anak buahnya yang memegangi si gadis cantik untuk melepaskannya dan segera
mengikuti langkahnya pergi meninggalkan desa itu.
Ketika hujan sudah reda, orang-orang yang bersorak sorai kegirangan segera menjatuhkan diri
berlutut di hadapan Kakek Bantal dan kelima muridnya. Termasuk si gadis cantik yang hampir
saja dikorbankan nyawanya oleh pendeta tua.
“Bangunlah Kisanak semua !” kata Kakek Bantal. “kalian tidak boleh bersujud kepada sesama
manusia. Hanya Tuhan Allah yang pantas kalian sembah dalam sujud.”
Setelah mendengar ucapan Kakek Bantal, semua orang segera bangkit untuk bersila, salah
seorang dari mereka yang nampaknya berusia lanjut berkata, “Kami sangat berterima kasih
kepada Tuan, karena Tuan telah menolong kami menurunkan hujan yang telah lama kami
tunggu-tunggu. Bolehkah kami minta diajarkan tata cara meminta hujan seperti tadi ?”
Ya !” sahut penduduk lainnya. “Ajarkan kepada kami cara menurunkan hujan tanpa
mengorbankan manusia !”
Kakek Bantal tersenyum arif. Orang-orang desa itu telah manaruh simpati kepadanya. Rasa
simpati itulah modal utama untuk memperkenalkan ajaran Islam kepada mereka.
“Kalau kalian ingin diajari cara minta hujan seperti tadi,” kata Kakek Bantal. “Maka kalian
harus mengenal dan mempelajari dulu agama Islam. Maukah kalian ?” “Mauuuuuu ...... ! jawab
para penduduk dengan serentak.
Demikianlah, selama beberapa hari Kakek Bantal tinggal di desa itu. Membimbing para
penduduk desa untuk mempelajari agama Islam sesuai dengan tingkat pemahaman mereka
selaku orang awam.
Selanjutnya Kakek Bantal meneruskan perjalanan pulang ke Gresik. Ia telah menugaskan dua
orang muridnya yang ahli dalam mengolah lahan pertanian dan bangunan untuk membimbing
penduduk desa itu. Sehingga terbinalah imam dan taraf hidup penduduk desa itu.
Pada setiap desa yang dilaluinya Kakek Bantal selalu berbuat kebajikan. Jika dipandang perlu
untuk menempatkan muridnya di desa yang disinggahi maka murid itupun ditugaskan untuk
membimbing penduduk desa yang dilaluinya.
Siapa Kakek Bantal?
Jauh sebelum Kakek Bantal datang ke Pulau Jawa, sebenarnya sudah ada masyarakat Islam di
daerah-daerah pantai utara. Termasuk di desa Leran. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya
makam seorang wanita bernama Fatimah Binti Maimun yang meninggal pada tahun 475
Hijriyyah atau pada tahun 1082 M.
Bahkan pada tahun 99 H, Sri Maharaja Serindrawarman dari kerajaan Sriwijaya di Sumatra telah
masuk Islam. Kemudian pada abad pertama Hijriyyah, menurut K.H. Sirajuddin Abbas, di Pulau
Jawa sudah ada seorang raja yang masuk agama Islam yaitu Ratu Sima. Menurut dokumen
disebut Ratu Simon. Dalam dokumen itu disebutkan bahwa Rati Sima adalah penguasa kerajaan
Kalingga di Jepara Jawa Timur (mungkin dahulu wilayah Jawa Timur, tetapi sekarang kota
Jepara adalah daerah Jawa Tengah).
Seorang Khalifah Bani Umaiyah, pengganti Khalifah Sulaiman Bin Abdul Malik, yaitu Khalifah
Umar bin Abdul Aziz yang berkuasa dari tahun 99 – 101 H, pernah berkorespondensi dengan
Maharaja Jambi (Sriwijaya) dan Ratu Sima tersebut. Kumpulan dari surat-surat itu masih
tersimpan baik di Musium Granada Spanyol sampai sekarang.
Jadi, sebelum jaman Wali Songo, Islam sudah ada di Pulau Jawa yaitu daerah Jepara dan Leran.
Tetapi Islam pada masa itu belum berkembang secara besar-besaran. Kakek Bantal diperkirakan
datang ke Gresik tahun 1404 M. Beliau berdakwah di Gresik hingga akhir wafatnya yaitu pada
tahun 1419.
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya
kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagaian rakyat Gresik sudah ada yang
beragama Islam tetapi masih banyak yang beragama Hindu. Atau bahkan tidak beragama sama
sekali.
Dalam berdakwah Kakek Bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat
berdasarkan ajaran Al-Qurán yaitu :
“Hendaknya engkau ajak kejalan Tuhanmu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan
petunjuk-petuhjuk yang baik serta ajakan mereka berdialoq (bertukar pikiran) dengan cara
yang sebaik-baiknya. (QS An Nahl 125).
Ada yang menyebutkan bahwa beliau berasal dari Turki. Dan pernah mengembara di Gujarat
sehingga beliau cukup berpengalaman menghadapi orang-orang Hindu di Pulau Jawa.
Gujarat adalah wilayah negeri Hindia yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Di Jawa,
Kakek Bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu, melainkan juga harus
bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran
sesat, juga meluruskan imam dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik.
Caranya : Beliau tidak langsung menentang kepercayaan mereka yang salah itu melainkan
mendekati mereka dengan penuh hikmah, beliau tunjukkan keindahan dan ketinggian akhlak
Islami sebagaimana ajaran Nabi Muhammad SAW.
Dari huruf-huruf Arab yang terdapat di batu nisannya dapat diketahui bahwa Syekh Maulana
Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan
para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau
terhadap masyarakat, bukan hanya pada kalangan atas melainkan juga pada golongan rakyat
bawah yaitu kaum fakir miskin.
Ayat-ayat Al-Qurán yang tertulis di batu nisannya terdiri dari :
Surat Al-Baqarah ayat 255, terjemahannya :
“Allah, tidak ada Tuhan malainkan Dia, yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus
(makhluk-Nya), tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di
bumi. Tiada yang dapat memberi syafaat di sisi Allah tanpa izin-Nya. Allah mengetahui apa-apa
yang ada di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa
dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi (ilmu dan kekuasaan) Allah meliputi
langit dan bumi. Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya. Dan Allah Mahatinggi dan
Mahabesar.”
Surat Ali Imran ayat 185, terjemahannya :
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah
disempurnakan pahalamu, barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga
maka sesungguhnya ia beruntung. Kehidupan di dunia tidak lain hanyalah kesenangan yang
memperdayakan.”
Surat Ar-Rahman ayat 25, 27, terjemahannya :
“Semua yang di bumi akan binasa. Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan.”
Surat At-Taubah ayat 21, 22, terjemahannya :
“Tuhan mereka menggembirakan mereka dengan memberikan rahmat dari pada-Nya, keridhaan
dan surga. Mereka memperoleh di dalamnya kesenangan yang kekal, mereka kekal di dalamnya
selama-lamanya. Sesungguhnya di sisi Allah pahala yang besar.”
Selanjutnya tertulis data siapa yang dimakamkan di kuburan itu. “Inilah makam Almarhum
Almaghfur, yang berharap rahmat Tuhan, kebanggaan para Pangeran, sendiri Sultan dan para
Menteri, penolong para fakir dan miskin, yang berbahagia lagi syahid, cemerlangnya simbol
negara dan agama, Malik Ibrahim yang terkenal dengan Kakek Bantal. Allah meliputinya dengan
Rahmat-Nya dan keridhaan-Nya, dan dimasukkan ke dalam surga. Telah wafat pada hari senin
12 Rabiul Awwal tahun 822 H.”
Menurut literatur yang ada, beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau
berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak
yang di sembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim
atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan
dihormati. Kepribadiannya yang baik itulah yang menarik hati penduduk setempat sehingga
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka rela dan menjadi pengikut beliau
yang setia.
Sebagai misal, bila beliau menghadapi rakyat jelata yang pengetahuannya masih awam sekali,
beliau tidak menerangkan Islam secara njelimet. Kaum bawah tersebut dibimbing untuk bisa
mengolah tanah agar sawah dan ladang mereka dapat dipanen lebih banyak lagi, sesudah itu
mereka dianjurkan bersyukur kepada Yang Memberikan Rezeki, yaitu Allah SWT.
Dikalangan rakyat jelata Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan
kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi empat kasta;
kasta Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra. Dari keempat kasta tersebut kasta Sudra adalah
yang paling rendah dan sering ditindas oleh kasta-kasta yang jauh lebih tinggi. Maka ketika
Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seorang di dalam Islam, orang-orang
Sudra dan Waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam
agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan
yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Di hadapan Allah semua manusia adalah sama, yang
paling mulia di antara mereka hanyalah yang paling taqwa kepadaNya.
Taqwa itu letaknya di hati, hati yang mengendalikan segala gerak kehidupan manusia untuk
berusaha sekuat-kuatnya mengerjakan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangannya.
Dengan taqwa itulah manusia akan hidup berbahagia di dunia hingga di akhirat kelak, orang
yang bertaqwa, sekalipun dia dari kasta Sudra bisa jadi lebih mulia dari pada mereka yang
berkasta Ksatria dan Brahmana.
Mendengar keterangan ini, mereka yang berasal dari kasta Sudra dan Waisya merasa lega,
mereka merasa dibela dan dikembalikan haknya sebagai manusia utuh sehingga wajarlah bila
mereka berbondong-bondong masuk agama Islam dengan suka cita. Setelah pengikutnya
semakin banyak, beliau kemudian mendirikan masjid untuk beribadah bersama-sama dan
mengaji. Dalam membangun masjid ini beliau mendapat bantuan yang tidak sedikit dari Raja
Carmain.
Dan untuk mempersiapkan kader ummat yang nantinya dapat meneruskan perjuangan
menyebarkan Islam ke seluruh Tanah Jawa yang seluruh Nusantara maka beliau kemudian
mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam. Tempat mendidik dan menggembleng
para santri sebagai calon mubaligh. Pendirian Pesantren yang pertama kali di Nusantara itu
diilhami oleh kebiasaan masyarakat Hindu yaitu para Biksu dan pendeta Brahmana yang
mendidik cantrik dan calon pemimpin agama di mandala-mandala mereka.
Inilah salah satu strategi para wali yang cukup jitu; orang Budha dan Hindu yang mendirikan
mandala-mandala untuk mendidik kader tidak dimusuhi secara frontal, melainkan beliau-beliau
itu mendirikan bentuk Pesantren yang mirip mandala-mandala milik kelompok Hindu dan Budha
tersebut untuk menjaring ummat. Dan ternyata hasilnya sungguh memuaskan, dari pesantren
Gresik kemudian muncul para mubaligh yang menyebar ke seluruh Nusantara.
Tradisi Pesantren tersebut berlangsung hingga di jaman sekarang. Dimana para ulama
menggodok calon Mubaligh di pesantren yang diasuhnya.
Bila orang bertanya sesuatu masalah agama kepada beliau maka beliau tidak menjawab dengan
berbelit-belit melainkan di jawabnya dengan mudah dan gamblang sesuai dengan pesan Nabi
yang menganjurkan agama disiarkan dengan mudah, tidak dipersulit, ummat harus dibuat
gembira, tidak ditakut-takuti.
Seperti tersebut dalam buku History of Java karangan Sir Stamford Raffles; pada suatu hari
Syekh Maulana Malik Ibrahim ditanya : “Apakah yang dinamakan Allah itu ?” Beliau tidak
menjawab bahwa Allah itu adalah Tuhan yang memberi pahala sorga hambaNya yang berbakti
dan menyiksa sepedih-pedihnya bagi hamba yang membangkang kepadaNya.”
Jawabnya cukup singkat dan jelas yaitu, “Allah adalah Zat yang diperlukan adaNya.” Dua tahun
sudah Syekh Maulana Malik Ibrahim berdakwah di Gresik, beliau tidak hanya membimbing
ummat untuk mengenal dan mendalami agama Islam, melainkan juga memberikan pengarahan
agar tingkat kehidupan rakyat Gresik menjadi lebih baik. Beliau pula yang mempunyai gagasan
mengalirkan air dari gunung untuk mengairi lahan pertanian penduduk. Dengan adanya sistim
pengairan yang baik ini lahan pertanian menjadi subur dan hasil panen bertambah banyak, para
petani menjadi makmur dan mereka dapat mengerjakan ibadah dengan tenang.
Andai kata Syekh Maulana Malik Ibrahim tidak ikut membenahi dan meningkatkan taraf hidup
rakyat Gresik tentulah mereka sukar diajak beribadah dengan baik dan tenang.
Sebagaimana sabda nabi bahwa kafakiran menjurus pada kekafiran. Bagaimana mungkin bisa
beribadah dengan tenang jika sehari-hari disibukkan dengan urusan sesuap nasi. Inilah resep
yang harus ditiru.
Seorang imam surau, musholla atau masjid adalah pemimpin jamaahnya. Pada saat imam
mengucapkan, “Iya kana’budu waiyya kanasta’in, “KepadaMu kami menyembah dan kepadaMu
kami mohon pertolongan. Kemudian makmumnya mengaminkanya. Bisakah sang imam atau
pemimpin tadi menjamin bahwa makmumnya benar-benar hanya mengabdi, menyembah dan
mohon pertolongan hanya kepada Allah ?
Bagaimana jika shalat makmumnya tidak khusyu’? sebabnya tidak khusyu’ karena masalah
ekonomi. Apakah imam yang menjadi wakil makmum menghadapkan diri kepada Tuhan itu
bersiap masa bodoh dan tidak menghiraukan masalah ekonomi makmumnya. Sehingga setiap
kali memimpin shalat sang imam terus saja berbohong kepada Tuhannya bahwa dia menyatakan
siap mengabdi, menyembah hanya kepada Allah saja, tetapi makmum atau orang yang
dipimpinnya ternyata belum siap dikarenakan masalah duniawi. Itulah sebabnya para Wali tidak
hanya membimbing agama kepada ummatnya melainkan juga berusaha meningkatkan taraf
kehidupan ummatnya
sumber : novel kisah walisongo : http://dimhad.6te.net
0 komentar:
Posting Komentar